Senin, 24 Desember 2012

Aku Tak Ingin, Mendua


Mengapa kamu datang ketika aku tlah bersamanya? Ketika aku mulai mencicipi rasa bahagia, merasakan duka lara bersamanya, kamu seakan-akan datang dengan membawa sejuta rasa yang berbeda.

Mengapa kini kamu baru datang? Kemana dirimu ketika aku mencoba menopang dan melangkah? Berdiri, berjalan dalam sepi, sendiri. Bebas, lepas, dan belum , bahkan tanpa ada ikatan dengan, dia.

Ah, kenapa? Apakah mungkin, kamu masih malu untuk menyapa? Namun kenapa, ketika aku bersamanya, dengan secepat kilat kamu datang menyambar, menyapa tanpa permisi.  Dan, membuatku luluh seketika hingga aku lupa tlah bersamanya. Iya, ber-dua bersama dia.

Kamu tau? Hidupku terlalu lengkap bila kita ber-tiga. Cinta ini akan menjadi berwarna. Serupa warna balon,hijau kuning kelabu, merah muda, dan biru, atau selengkap pelangi yang selalu mejikuhibiniu.

Cukup! Aku tak mau cinta antara kita datang bersama-sama. Ya! Cinta antara, Aku-Kamu-Dia. Aku tau, cinta ini tak salah dan tak bisa disalahkan. Karna menurutku, cinta ini hadir, tanpa paksaan, tanpa keinginan untuk mendusta, mendua, dan dengan mudahnya, ia mengalir begitu saja.

Aku mengalah, karna aku yang salah! Bukan cintamu atau cintanya! Aku tau,ini hanyalah tipuan cinta, yang selalu menggoda agar kita bisa bersama. Hahaha, ingin rasanya aku tertawa!

Namun maaf, tawa ini bukan tawa kemenangan bahagia untukmu karna kita bisa bersama. Aku tak bisa membagi, aku tak sanggup mencecerkan cinta, untukmu dan untuknya. Aku tak ingin mendua. Sekali lagi ingin aku bicara, cinta ini terlalu lengkap bila kita ber-tiga.

Aku takut, kehadiran yang sementara, hanya akan menorehkan lubang besar yang bernama luka. Lalu, bila rasa ini nantinya menghilang terbawa semesta, aku yakin, yang kita petik adalah kecewa.

Tolong, ku harap kamu tau. Aku menginginkan satu cinta. Cukup satu cinta, antara aku dan dia. Bukan cinta segitiga, yang didalamnya kamu pun masuk menjadi tokohnya.

Sudahlah, lepaskan aku dari jeratan rasa yang pernah ada. Aku tak ingin mendusta. Lupakan aku, lupakan rasa yang pernah kita bawa bersama ber-dua.

Dan, biarkan saja  cerita kita sekejap menjadi lara, daripada sampai nanti saatnya, semua terbuka, hingga celah untuk mengucap maaf , telah sirna. Aku lelah, aku ingin setia, aku tak ingin, men-dua.

Selasa, 18 Desember 2012

Seribu Tahun Lamanya



 Hai, kamu apa kabar? Baik, kan? ..... Kamu tau? Aku rindu.

Kenapa semakin hari kamu semakin jauh? Apa kamu tak tau? Kamu adalah alasanku untuk tetap bisa berdiri. Tapi, kenapa kamu malah membuatku terjatuh? Apa kakimu sudah terlalu lelah untuk menopang sesuatu yang seharusnya tidak kamu topang?

Atau...

Apa tanganmu sudah lelah untuk menggenggam apa yang seharusnya tidak kamu genggam? Menggenggam dengan erat lalu hilang. Ah itu kan ibarat pasir! Ya, semakin aku menggenggammu erat, semakin kamu terlepas dariku.

Atau....

Apa aku terlalu erat ketika menggenggamu? Sampai-sampai kamu saja merasa sakit dan memilih untuk lepas? Tidak! Bukan hanya kamu yang sakit. Aku juga!  Tapi, apa kamu tau? Aku bertahan. Iya bertahan meski sakitnya saja minta ampun.

Ah mengenalmu, selalu dekat denganmu, itu rasanya menyenangkan. Namun kenapa ketika aku merasakan sedikit kesenangan, kemudian kesedihan datang menyapa? Seakan mereka tak ingin disatukan. Rasanya memang tak ada batas. Kesenangan, kesedihan, kedatangan, kepergian, memang berada dalam lingkup yang terlalu dekat, namun terlalu angkuh untuk bisa saling bersama.

Ya! Aku tau, memang sudah seharusnya dari awal aku melangkah, meskipun itu dengan pelan. Kamu tau? Buatku, melangkah pun terasa berat, terlebih tanpamu.  Kamu mengajarkanku menjadi sosok yang kuat, tapi apa? Aku, menangispun kini karnamu (lagi). Perhatian padamu saja malah kamu salah artikan? Dimana sisi sayangmu seperti ketika kamu tersenyum padaku? Kenapa hanya pikiran dangkal tanpa memikirkan perasaanku nanti yang membuatmu membiarkanku melangkah?

Ah, sayang sekali. Pertemuan singkat, kedekatan singkat, kebahagiaan singkat, terlalu cepat terenggut, oleh keegoisanmu, kegengsianku. Aku peduli padamu, ingin membuatmu menjadi lebih baik lagi, meski aku juga menyadari, kalau aku tak selalu benar. Dan aku,kamu. Kita sama-sama saling belajar, bukan saling menyalahkan, mengalahkan atau menjatuhkan!  Cerita kita mungkin berakhir, namun sampai kapan aku tak tau, aku akan mencoba bertahan. Karna aku pernah bilang padamu, kan? Kalau memang perlu, ibarat sebuah lagu, biarlah aku menunggu..meski harus, seribu tahun lamanya...

“Takkan pernah berhenti, untuk selalu percaya
Walau harus menunggu, seribu tahun lamanya
Biarkanlah terjadi, wajar apa adanya
Walau harus menunggu, seribu tahun lamanya
Jika, kau masih ragu, untuk menerima
Biarkan hati kecilmu berbicara
Karena kutahu, kan datang saatnya”

Selasa, 04 Desember 2012

Pemilik Hati yang Sepi



Wahai pemilik hati yang sepi,
Masihkah ada ruang di hati ini?
Melihat tapi tak mengucap
Mendengar tapi tak menatap
Angkuh!

Wahai pemilik hati yang sepi,
Ketika sapa tak lagi terbaca
Pintu hati saling terkunci
Makna raga tlah sirna
Namun jiwa masih meraja

Wahai pemilik hati yang sepi,
Sajak-sajak tak berarti
Aksara buta tak terbaca
Rengkuhan sepi menemani
Titipkan rasa yang tlah mati

Wahai pemilik hati yang sepi,
Siapa yang peduli dengan hati yang sepi?
Membiarkan tenggelam tanpa bisa menepi
Merelakan pergi tanpa kembali
Menangis, meratapi, tak lagi mencintai

Wahai pemilik hati yang sepi,
Berhentilah merana
Tak ada lagi yang perlu ditanyakan
Tak ada lagi yang perlu disesalkan

Wahai pemilik hati yang sepi,
Sebelum toreh luka menganga
Carilah celah yang bisa buatmu bahagia
Karna kedatangan dan perpisahan
Semua sama, tak bersekat tanpa jeda