Kamis, 19 Januari 2012

Ingatkah, Senja?

Ingatkah, Senja?

Ingatkah senja yang kita lewati?

Bersama redup mentari, mega yang meninggi

Di sudut kota, senja datang bersama kita

Membawa kenangan, yang ternyata menjadi luka

Ingatkah?

Bukan ini yang ku inginkan, senja ternyata membawa luka

Mana bahagia?

Yang kau ucap bersama senja

Yang kita impikan dalam senja

Kelam, suram …

Seakan senja yang tau, seakan diapun ingin membela

Bergeming diantara ucapan yang kau bawa dalam senja

Dia pun tak terima, senja …

Membawa siluet indah bila tak nampak

Dalam bayang-bayang, ingatan … senja

Senin, 02 Januari 2012

Because of Time, Aku dan Engkau Tak Selalu Bersama

Because of Time, Aku dan Engkau Tak Selalu Bersama

Oleh : A’yun Pawestri

Pagi itu, matahari masih enggan memunculkan sinarnya yang menerangi bumi, jalanan lenggang dan air yang menggenang membasahi jalanan kota, semalam hujan turun amat deras sehingga dingin masih merasuk hingga tulang-tulang tubuh.

Hari ini hari Minggu. Aku masih bermalasan untuk bangun, apalagi hujan yang semalam turun membuatku tak ingin meninggalkan kamar kesayanganku.

Greeek..greeek…greeek…” hapeku bergetar, Dewa? Ngapain dia pagi-pagi telepon gini” keningku berkerut, segera ku angkat telepon tadi.

“Halooo? Ngapain Bang pagi-pagi telepon?” serangku tanpa ragu.

“Yaaaah si Genduk, liat tuh sekarang jam berapa? Lupa ya hari ini ada janji? “

Astaga! Aku lupa, hari ini kita janjian buat olahraga bareng di taman yang tak jauh dari rumahku.

“Ehh maaf bang aku kesiangan, di rumah sendirian nih nggak ada yang bangunin hehe makluuum … maaf yaaah! “ aku nyengir megingat aku lupa menyalakan alarm di HPku.

“Yee dasar ngebo terus kan si Cita kerjaannya” suaranya meninggi, berpura-pura marah kepadaku.

“Lah kan aku udah minta maaf, Bang! Ya udah sebagai gantinya aku traktir Bubur ayam Pak Jan deh Baaaang..aku siap-siap, kamu langsung ke sini ya, Bang! Kliik…” segera ku matikan HPku sebelum dia menolak dengan ribuan alas an dan memarah-marahiku karena keteledoranku bangun siang.

*****

Tak perlu menunggu waktu yang lama, Dewa sudah berada di teras rumahku dan menungguku berdandan. Dia selalu tepat waktu, dengan setia dia menungguku, rasanya nyaman bila dia selalu berada di dekatku, ini bukan pertama kalinya kami pergi bersama, namun aku selalu ingin tampil sempurna ketika berada di hadapannya. Setelah selesai, kami melesat ke warung bubur ayam Pak Jan yang telah menjadi langganan kami. Bubur ayam Pak Jan memang tiada tanding, apalagi makan bersama Dewa, rasanya sangat istimewa.

*****

Berkali-kali nomor tak di kenal menelponku dan terabaikan, karena saat itu aku sedang makan dan HPku berada di kamar. Sepertinya penting, batinku. Baru aku akan menelpon kembali, tiba-tiba nomor tadi menelponku kembali, dan segera ku angkat.

“Halo? Maaf ini siapa?” tanyaku heran

“………………………………” sunyi, tak ada sahutan dari seberang

“Haloooo? Ada perlu apa ya?” tanyaku kembali

“Cit?......”

JLEB!! Suara ini, suara yang amat sangat aku kenal, suara yang dulu sering mendendangkan lagu untukku, suara yang pernah membuat hatiku bergetar saat mendengarnya, suara yang hilang selama tiga tahun, dan tanpa kabar.

“Pppppuuutraa….? Dengan bergetar aku mencoba menanyakannya.

“Iyyyaaaa, Cit … kamu masih mengenalku?” tanyanya ragu.

Aku tersentak, aku terdiam, seakan lidahku amat kelu untuk menjawab pertanyaan yang mudah itu. Mana mungkin aku bisa melupakannya, dia yang berada di jauh sana, dia yang selama tiga tahun ini amat kurindukan, hingga akhirnya aku menemukan seseorang yang bisa mengubahnya, membantuku melupakannya dan membuatku lebih bahagia.

“Cita? Kok diem? Kamu apa kabar?” terdengar dari seberang dia susah untuk menyusun kata-kata.

“Aaaaku baik, kamu gimana? Di luar-negri?” tekanku, sebelum dia menjawab aku bertanya lagi, “Kamu ada apa telepon aku? Suaraku lebih meninggi kali ini.

“Aku baik, aku sekarang ada di Jogja, Cit…aku udah balik. Aku kangen, aku pengen bertemu denganmu” suaranya merendah penuh harap.

“Oh hahahaha …. ” aku tertawa, tawa bukan bahagia, tapi sedih.

“Jadi? Bagaimana? “tanyanya kembali membuyarkan lamunanku.

“Maaf Put, aku sedang sibuk, maaf tugasku sedang menumpuk…selamat malam” air mataku jatuh.

Ya…setelah satu tahun ini aku mencoba untuk tidak menangis, tapi kali ini Putra datang dan kembali membawa kabar yang lama aku nanti. Putra yang setahun pernah mewarnai hari-hariku dengan menjadi kekasihku, dia adalah seseorang yang amat ku sayangi, Ayahnya adalah seorang dosen, hingga suatu hari keluarganya harus berpindah ke Amsterdam karena mengikuti sang Ayah yang mengajar di sana. Akhirnya kami berpisah, dan dia meninggalkanku tanpa kabar yang jelas, tanpa perpisahan yang indah karena sejak awal kami memang tidak terlalu direstui saat berpacaran karena ayahnya yang berstatus lebih tinggi menjadi seorang dosen dan ayahku hanyalah seorang wirausahawan yang kini sudah dibilang sukses.

Tanpa sadar ternyata Dewa sudah berada di depan kamarku sedari tadi, dia mengamatiku dan spontan aku kaget. Dia melihatku menangis, dia terlihat heran, namun segera tertepis karena dia tau, bila aku menangis pasti karena aku amat sedih dan tak kuat membendungnya.

“Kamu kenapa, Nduk? Siapa yang barusan menelponmu? ” tanyanya hati-hati

Segera aku usap tangisku, aku tersenyum.

“Enggak kok, Bang..bukan siapa-siapa” aku mencoba berbohong.

“Udah, Nduk jangan bohong, kayak aku baru kenal kamu tadi sore aja, Ayo cerita!”

Nama itu terngiang kembali dalam pikirku sebelum aku kembali menjawab pertanyaan Dewa.

“Putra, Bang. Barusan dia yang menelponku” kaku, aku berdebar, takut bila kataku barusan menyinggungnya.

Seperti yang ku duga, ekspresinya berubah seketika, wajahnya memerah, memancarkan emosinya akan meluap. Aku percaya, dia bisa menahannya.

“Maaf, aku juga nggak tau kenapa dia tiba-tiba menelponku” aku mencoba menjelaskan.

“Iya, Nduk aku ngerti kok, ya udah nggak usah di pikir, toh itu juga masa lalu kan …”

Aku tersenyum, aku tau Dewa tak pernah mempermasalahkan ini, dia amat tegas dan bersikap dewasa. Deburan ombang yang menghantam karang berasa berpindah ke hatiku, aku sangat bahagia, ya bahagia, karena Dewa.

“Makasih ya, Bang! Bang Dewa emang yang paling ngerti kok.”

Aku masih tak percaya dengan apa yang barusan terjadi. Kami turun ke ruang keluarga, untuk bercakap bersama.

*****

Setelah hari itu, Putra selalu SMS atau menelponku, sering aku mengabaikannya, aku tak ingin kembali dan jatuh cinta kedua kalinya padanya. Awalnya aku menganggap biasa, namun lama kelamaan aku merasa terganggu dengan caranya. Dewa yang tau ini, masih menganggapnya wajar, masih selalu sabar menemani dan mendampingiku. Hingga suatu hari Putra benar-benar menemuiku dan datang ke rumahku. Aku serba salah namun bagaimanapun, dia adalah tamu dan aku harus menghormatinya.

“Cit, aku mau bicara denganmu” katanya serius.

“Apa?” tanyaku ragu.

“Cit, aku minta maaf karena selama ini tiba-tiba hilang dari hidupmu, dan nggak pernah memberimu kabar, bukan karena aku nggak sayang kamu, selama ini aku mencari-cari kabar tentangmu dan aku nggak nemuin sama sekali, aku baru menemukan akun Facebook danTwittermu pun baru dua hari yang lalu, dan kamu tau kan bagaimana ayah dan mamaku yang terlalu memprotect-ku?”

Hatiku berkecambuk. Apa maksud Putra ngomong begitu? Apa diaa…..ahh tidak mungkin! Sanggahku dalam hati dengan segera.

“Cit, aku pengen kita balikan, tolong Cit terima aku kembali … aku ingin memulai semua dari awal”

Benar. Apa yang ku takutkan terjadi.

“Maaf Put, kita udah terlalu lama berpisah, aku nggak mungkin bisa buat nerima kamu lagi, hidup kita udah beda dengan yang dulu … maaf!” aku tertunduk lesu.

“Tapikan seperti apa yang ku katakan tadi, kita bisa memulai dari awal Cit, sungguh..aku masih menyayangimu” dia kembali meyakinkanku.

“Bukan hanya itu alasannya yang membuat kita nggak bisa kembali, suatu saat kamu bakal tau kok…”

“Apa karna kamu udah menemukan penggantiku, Cit? “ aku tersenyum, dan dia tertunduk lesu.

“Hmm…ya sudah, maaf Cit aku nggak akan mengganggu hubunganmu dengan siapapun itu, tapi aku hanya ingin kembali bersahabat seperti sebelum kita pacaran dulu”

Hatiku tenang seketika, lega merajalela melunjak dihatiku.

“Iya Put….” Kataku singkat

“Semoga kamu bahagia dengan lelaki pilihanmu, aku pamit dulu ya…Maaf udah selalu mengganggumu”

Segera Putra meninggalkan rumahku dengan lesu dan langkah yang lunglai. Sungguh ini tak semudah membalikkan telapak tangan.

*****

Sepulangnya Putra, aku segera menelpon Dewa, aku menceritakan semua apa yang barusan terjadi, respon yang tak ku duga, bukan marah atau bagaimana tapi Dewa malah tertawa tak henti-hentinya. Aku tau dia telah mempercayaiku, aku tau dia telah mencintaiku, melindungi dan mencoba memberiku yang terbaik. Empat tahun pengorbanannya terjawab sudah.

*****

Di tempat lain terlihat Putra yang masih gelisah, dia masih terpuruk mengetahui Cita, wanita yang amat di cintainya telah menemukan seorang tambatan hati, iseng dia membuka aku Facebook Cita dan melihat infonya, dan kaget dia membacanya……

Regycta Destawiratih

Status : In a relationship with Dewangga Rastanta

Pria itu, pria yang dulu selalu bersama-sama dengannya. Dewa, sahabatnya yang selalu mengalah dan sudah empat tahun memendam rasa cintanya pada Cita, memang pantas mendapatkan Cita, dan Putra tau, dia terlambat.